Perekonomian Indonesia
Peringkat PDB : ke-15
PDB : $863,6 milyar (2005)
Pertumbuhan PDB : 4,8% (2004)
PDB per kapita : $3.200 (2004)
PDB berdasarkan sektor : pertanian (16.6%), industri (43.6%), jasa (39.9%) (2004)
Inflasi : 6.6% (2004)
Pop di bawahgaris kemiskinan : 8.% (1998)
Tenaga kerja : 105,7 juta (2004)
Tenaga kerja berdasarkan pekerjaan : produksi 46%, pertanian 16%, jasa 39% (1999)
Pengangguran : 8.7% (2004)
Industri utama :
minyak bumi dan gas alam; tekstil, perlengkapan, dan sepatu; pertambangan, semen, pupuk kimia, plywood; karet; makanan; pariwisata
Perdagangan Internasional
Ekspor : $113,99 milyar (2007)
Komoditi utama : minyak dan gas, plywood, tekstil,karet
Mitra dagang : Jepang 22,3%, Amerika Serikat12,1%, Singapura 8,9%, Korea Selatan 7,1%, Cina 6.2% (2003)
Impor : $74,40 milyar (2007)
Komoditi utama : mesin dan peralatan; kimia, bahan bakar, makanan
Mitra dagang : Jepang 13%, Singapura 12,8%,Cina 9,1%, Amerika Serikat 8,3%,Thailand 5,2%, Australia 5,1%,Korea Selatan 4,7%, Arab Saudi4,6% (2003)
Keuangan publik
Utang pemerintah : $454.3 milyar (56.2% dari GDP)
Pendapatan : $40.91 milyar (2004)
Belanja : $44,95 milyar (2004)
Bantuan ekonomi : $43 milyar dari IMF (1997–2000)
Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-”collateral” menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, danhambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik
Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui “perubahan besar” desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 milyar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 milyar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 milyar, ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami ‘ruang fiskal’ yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 milyar, dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 – Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 , menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
Selama 30 tahun terakhir struktur perekonomian Indonesia telah mengalami transisi luar biasa. Pada tahun 1967, Indonesia berada dalam situasi yang sangat kacau. Pendapatan per kapita turun sampai tingkat di bawah yang telah dicapai lima tahun sebelumnya, perekonomian hancur oleh hiper inflasi, sektor pertanian tidak dapat lagi menyediakan bahan pangan yang cukup untuk kebutuhan dalam negeri, dan kemiskinan menjadi nasib sebagian besar penduduk.
Pada saat itu ekspor Indonesia masih didominasi oleh minyak dan gas bumi serta beberapa produk utama lainnya. Sektor pertanian masih menyumbang sekitar 24% PDB. Namun pada 1994 PDB riil tumbuh hingga 7,6% per tahun selama satu dekade dan industri nonmigas tumbuh sampai 20% dari PDB.
Reformasi utama yang dilakukan pada tahun 1965 fokus pada permasalahan stabilisasi. Dua bidang manajemen ekonomi makro yang diadopsi selama masa stabilisasi merupakan hal penting dalam memandu ekonomi sejak saat itu. Pertama, pemerintah orde baru mengharuskan ketelitian dalam hal anggaran belanja dengan mensyaratkan anggaran berimbang setiap tahun. Kedua, pada tahun 1970, pemerintah menyatakan bahwa rupiah akan menjadi mata uang yang sepenuhnya dapat ditukar, tanpa dibatasi arus jual beli valuta asing masuk atau keluar dari Indonesia.
Reformasi lain yang dilakukan adalah reformasi perpajakan. Pada tahun 1980an ekonomi menghadapi krisis serius. Ada penurunan tingkat ekspor riil sebesar 9% pada tahun 1982 bersamaan dengan penurunan sebesar 0,3% pada nilai PDB riil. Defisit tranksasi juga terjadi meningkat terhadap PDB dari 1% ke 6%. Hal ini mengharuskan alternatif kebijakan untuk mengurangi tekanan pada neraca pembayaran.
Reformasi perpajakan sering diduga sebagai tanggapan atas penurunan harga minyak pada tahun 1983. Namun yang sebenarnya terjadi adalah, reformasi perpajakan dilakukan sebagai kebijakan atas perkiraan bahwa Indonesia tidak mampu terus-menerus bergantung pada pendapatan dari minyak dan gas bumi. Upaya reformasi perpajakan mengenalkan sistem yang sepenuhnya modern, kompleks, tingkat marjinal tinggi, dan sulit untuk diterapkan sehingga memperburuk efisiensi ekonomi.
Reformasi perpajakan membawa peningkatan dramatis pada pendapatan dari sektor nonmigas. Peningkatan ini terjadi dari 5,5% terhadap PDB pada tahun 1982 menjadi 11,2% pada 1983.
Reformasi lain yang dilakukan adalah reformasi perdagangan. Keberadaan penerimaan dari perminyakan menyembunyikan beban atas mismanagement ekonomi makro yang substansial. Sikap pencarian sewa tak terkontrol dan otoritas kepabeanan korup dan tidak efisien, lebih jauh lagi menyebabkan tingginya bea impor, sementara perubahan nilai tukar jarang terjadi dan tidak dapat diperkirakan.
Pada 1985, Indonesia menghadapi krisis lain: perlunya menstimulasi ekspor nonmigas. Akhirnya beberapa bulan kemudian pelabuhan dibuka dan pendapatan tarif naik, sementara nilai impor perlahan menurun. Pada 1986, pemerintah menerapkan bebas bea masuk, dan mengimpor secara langsung, tanpa mempertimbangkan larangan lisensi yang berlaku
Hasilnya, ekspor nonmigas meningkat dari sekitar 5,9 milliar dollar AS pada tahun 1985 menjadi sekitar 30,4 milliar dollar AS pada tahun 1994-peningkatan lebih dari lima kali lipat dalam periode lima tahun. Rata-rata pertumbuhan tahunan sekitar 20%, empat kali lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor dunia. Komposisi ekspor nonmigas juga mengalami perubahan yang dramatis dengan produk seperti karet, kopi, teh, timah, dan alumunium mencapai hampir setengah dari total ekspor nonmigas.
Regulasi reformasi investasi juga dilakukan. Sejak awal tahun 1990-an, terjadi pengurangan batasan investasi secara progresif. Pada tahun 1994, persetujuan investasi asing melebihi nilai 24 milliar dollar AS dan pada tahun 1995 mencapai nilai 40 milliar dollar AS.
Reformasi sektor keuangan dilakukan sebagai alat untuk menanggapi berkembangnya industri. Tahapan-tahapan diperkenalkan, termasuk yang disebut Pakto 88, membangun serangkaian reformasi yang dirancang untuk meningkatkan kompetisi pada sektor keuangan dengan menghilangkan beberapa hambatan yang ada, bahkan setelah reformasi tahun 1983.
Hasil dari beberapa reformasi yang dilakukan adalah, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan proporsi pembentukan modal tertinggi di antara negara-negara berkembang, peningkatan positif yang signifikan dari sektor tenaga kerja, dan tentu saja pengurangan angka kemiskinan yang signifikan dari 1970-1987.
Outlook Ekonomi Indonesia 2010
Arah pereko-nomian Indonesia ditentukan oleh dua hal pada tahun 2010, yaitu tingkat produktivitas relatif dan sejauhmana Fed tetap mempertahankan fasilitas TARP. Tingkat produktivitas relatif antarbangsa ditentukan oleh produktivitas faktor produksi antarnegara yang memiliki hubungan mobilitas produksi dan keuangan.
Dalam kasus Indonesia, perekonomian Indonesia sangat ditentukan oleh liberalisasi parsial khususnya dengan dibukanya perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina. Dengan dibukanya perdagangan bebas ASEAN dengan Cina pada tahun 2010, konstelasi produktivitas relatif akan mengalami shifting apalagi perekonomian dunia tampaknya belum mengalami perubahan konjungturnya.
Dalam kondisi seperti ini, strategi big push ala Rosenstein Rodan justru akan menyebabkan defisit pembayaran akut. Dengan tidak berubahnya konjungtur perekonomian dunia, sejauhmana Fed dan ECB mampu bermain dengan tingkat suku bunga rendah masih patut dipertanyakan. Dengan demikian, outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia yang optimis untuk tahun 2010 adalah sebesar 4,6 persen dengan tingkat inflasi sembilan persen. Tingkat inflasi akan berada pada level sekitar 7,5 persen jika neraca pembayaran tetap mengalami surplus dengan dibukanya perdagangan bebas dengan Cina. Namun demikian, jika neraca pembayaran mengalami defisit, inflasi akan membumbung hingga sembilan persen. Sementara itu, pengangguran akan mengalami tekanan yang cukup tinggi karena diperkirakan akan terjadi pengangguran terbuka hingga tambahan 10 juta penganggur, jika dibukanya perdagangan bebas dengan Cina. Di antara negara ASEAN adalah Indonesia yang paling dirugikan dengan dibukanya perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina.
Selama ini, Indonesia mengandalkan sektor non tradable untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 4,3 persen. Sektor tradable tersebut didukung semata-mata oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat. Perdagangan bebas menyebabkan lingkages dalam perekonomian nasional karena persamaan produk antara Cina dan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi sebesar 4,6 persen di tahun 2010 akan sulit dicapai jika overheating dalam perekonomian ternyata sangat parah karena bottleneck condition. Perlu diingat bahwa pada masa lima tahun yang lalu dalam pemerintahan SBY dan JK telah gagal dalam membangun infrastruktur.
”Infratructure Summit” hanya menjadi jargon yang terbukti gagal diimplementasikan. Saat ini, pemerintah juga membuat jargon yang sama, yaitu ”Road Map Summit”, namun seperti pada Summit yang lalu tidak memiliki kapasitas perencanaan yang mumpuni. ”Road Map Summit” yang lalu tidak memasukkan unsur kebijakan moneter dan kebijakan produktivitas nasional dalam mendukung pembangunan infrastruktur sehingga model makroekonomi yang tercipta bersifat parsial. Rendahnya kontribusi sektor tradable tersebut, untuk jelasnya, menyebabkan penurunan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode 2000-2009. Pada periode itu, rata-rata pertumbuhan sebesar lima persen atau turun jika dibandingkan periode 1990-1996, yang rata-rata pertumbuhannya sebesar tujuh persen.
Jika pemerintah Indonesia mampu membangun sektor infrastruktur di dalam negeri secara tepat sasaran, sektor pertanian akan kembali memiliki pertumbuhan positif pada tahun 2015. Namun demikian, sektor manufaktur tidak akan mampu mengikuti perbaikan seperti itu.
Sektor manufaktur memerlukan tambahan dukungan selain infrastruktur, yaitu bantuan kredit atau keuangan yang bersifat cepat dengan biaya bunga yang murah. Juga, pemerintah harus mengarahkan insentif kepada sector tradables di dalam negeri dengan mengurangi insentif kepada sector non tradables.
Untuk menjaga koridor positif bagi productivity swing, pemerintah harus menjaga stabilitas di pasar keuangan melalui penciptaan mekanisme deposit insurance yang efisien. Tanpa dilakukannya langkah seperti ini, kasus Bank Century berpotensi akan terjadi lagi mengingat volatilitas perekonomian dunia masih akan tetap tinggi pada tahun 2010.
Namun, hal tersebut juga sangat tergantung kepada konstelasi moneter dunia. Jika Amerika Serikat dan Uni Eropa mampu mempertahankan pertumbuhan kredit pada tasing 50 persen (TARP), derajat kebebasan bagi perencanaan ekonomi nasional untuk menciptakan productivity swing akan semakin membesar karena Indonesia akan menjadi selang bagi produk-produk Cina menuju pasaran Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Konsekuensinya, pertumbuhan loan sindikasi perbankan menjadi terancam sehingga pertumbuhan kredit perbankan pada 2010 hanya berorientasi kepada kredit konsumsi. Apalagi, jika Bank Indonesia terus berupaya membuat tingkat suku bunga menjadi murah. Ini justru akan membuat perekonomian Indonesia bertambah cepat kehancurannya karena kredit konsumsi akan meningkat untuk membeli produk-produk dari Cina.
Dengan demikian, pertumbuhan kredit pada tahun 2010 diperkirakan hanya mencapai 5,5 persen karena jika mencapai 17 persen seperti yang diinginkan oleh Bank Indonesia, instabilitas pada perekonomian nasional akan membengkak kembali. Perlu diingat bahwa kasus Dubai World belum dapat dianggap selesai sehingga CAR perbankan tahun 2010 diperkirakan akan berada pada tingkat 10 persen saja. Dengan demikian, NPL diperkirakan akan mencapai delapan persen pada 2010 karena akan banyak usaha mengalami kesulitan operasional, dalam bersaing dengan produk impor dari Cina.
Pertumbuhan Ekonomi 2011 Diprediksi Lebih Tinggi dari 2010
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Bank Indonesia memperkirakan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2011 akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2010. Hal ini akan ditopang sisi eksternal yang kondusif dan permintaan domestik yang tetap kuat. Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution, dalam sambutannya, yang dibacakan Kepala Direktorat Riset dan Pengembangan BI, Sugeng, dalam “Seminar Market Outlook 2011″, mengatakan bahwa prospek perekonomian global yang melambat pada 2011 berdampak bagi prospek pertumbuhan ekonomi domestik di 2011.
Terutama, imbuhnya, melalui net ekspor yang menurun sejalan dengan impor yang diperkirakan mengalami peningkatan cukup tinggi. “Diperkirakan, perekonomian masih akan bertumpu pada permintaan domestik yang bersumber dari masih kuatnya konsumsi rumah tangga, karena kuatnya keyakinan konsumen dan berlanjutnya perbaikan investasi yang didukung oleh iklim investasi yang lebih kondusif serta perbaikan soverign credit rating Indonesia menuju investment grade,” jelasnya, di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (25/11/2010).
Lebih lanjut, Sugeng menyatakan, mempertimbangkan berbagai hal tersebut, kata dia, ekonomi Indonesia di 2011 diperkirakan dapat tumbuh dalam kisaran enam hingga 6,5 persen.
Sementara itu, tekanan inflasi tahun 2011 mendatang diperkirakan dapat dijaga pada kisaran target yang ditetapkan 5 persen ± 1 persen.
Penulis: Srihandriatmo Malau
http://www.tribunnews.com/2010/11/25/pertumbuhan-ekonomi-2011-diprediksi-lebih-tinggi-dari-2010
Sebelas Tantangan Ekonomi Indonesia 2011
Perekonomian Indonesia tahun depan diprediksi masih menjanjikan, dengan pertumbuhan diperkirakan berkisar 6,4 persen. Pertumbuhan ini lebih besar 0,6 persen dibandingkan target pertumbuhan tahun ini sebesar 5,8 persen.
Namun, apa yang menjadi tantangan dan risiko yang harus diantisipasi oleh Indonesia pada 2011?
Komite Ekonomi Nasional dalam buku Prospek Ekonomi Indonesia 2011 menuturkan ada sejumlah tantangan dan risiko yang perlu diantisipasi Indonesia di tahun depan.
Pertama, tantangan atas kemungkinan terjadinya gelembung nilai aset (asset bubble) dan inflasi, karena kurangnya daya serap ekonomi nasional terhadap masuknya modal asing, termasuk jangka pendek.
Kedua, terhentinya arus modal masuk dan bahkan terjadinya penarikan kembali modal masuk dalam jumlah besar. Pengendalian dan mitigasi arus modal serta kemungkinan arus balik disebabkan kesalahan mengantisipasi arus modal menjadi risiko yang harus diperhatikan.
Kesalahan dalam mengambil kebijakan, keterlambatan mengambil tindakan serta kurang koordinasi antar pembuat kebijakan juga dapat berakibat buruk terhadap stabilitas makro yang sudah terjaga selama ini.
Ketiga, subsidi energi dan alokasi yang kurang efisisien. Selama ini, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) masih dinikmati orang mampu (berpenghasilan tinggi). Terkait masalah ini, Ketua Komite Ekonomi Nasional, Chairul Tanjung mengatakan yang wajib mendapat subsidi ialah orang miskin, orang mampu sebaiknya tidak dapat subsidi.
Keempat, risiko inflasi terutama dipicu komponen makanan, pendidikan, dan ekspektasi inflasi. Inflasi Indonesia yang masih tinggi, menurut Chairul Tanjung, karena selama ini kita hanya mengandalkan kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mengelola demand (permintaan).
Padahal, lanjutnya, selain faktor demand, inflasi juga dipengaruhi faktor suplai atau tersedianya barang dan faktor distribusi yang harus diperhatikan.
Kelima, infrastrukstur dan interkoneksi (transportasi) yang kurang memadai.
Chairul menuturkan, tahun ini Indonesia menjual mobil sebanyak 760 ribu. Jika dalam lima tahun ke depan tidak ada penambahan jalan secara signifikan khususnya di Jakarta, akan terjadi kemacetan. Begitu pula, dengan airport dan pelabuhan.
“Jika tidak ada perbaikan akan terjadi kemacetan luar biasa, yakni kemacetan ekonomi,” ujar Chairul.
Keenam, peningkatan daya saing, perbaikan pendidikan, dan pelatihan serta penambahan pasokan tenaga teknik terdidik yang menjadi penghambat bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi produk (utamanya yang padat karya), menghambat investasi dan mengurangi penciptaan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Masalah daya saing Indonesia masih tertinggal dibawah Malaysia, Singapura dan Thailand.
Ketujuh, daya serap atau belanja pemerintah (pusat dan daerah) yang masih belum optimal.
Kedelapan, risiko yang berkenaan dengan kondisi politik dan hukum yang terjadi. Hingga kini, kinerja DPR dalam menyelesaikan legislasi, pembuatan undang-undang (UU), termasuk UU yang berkaitan dengan upaya mendorong pembangunan ekonomi masih jauh dari harapan.
Kesembilan, risiko perubahan iklim, bencana alam, dan krisis keuangan yang datang secara mendadak. Semestinya, risiko ini sudah dapat diatasi dengan baik mengingat kita telah belajar dari pengalaman dalam beberapa tahun belakangan ini.
Kesepuluh, tantangan risiko global, seperti pemulihan ekonomi negara maju masih akan lama, sehingga berdampak pada pemulihan ekonomi dan perdagangan dunia.
Kesebelas, Geopolitical-Geoeconomy G2 mengenai persoalan ketidakseimbangan ekonomi dunia, perang kurs dan potensi perang korea yang sangat tergantung pada G2 (China-AS), bukan G20. Hubungan saling membutuhkan, “Benci tapi rindu” AS-China, yang harus mencari penyelesaian secara kooperatif. Serta risiko gagal bayar utang negara-negara Eropa.