Pages

Welcome Myspace Comments




Senin

Tugas Proposal Skripsi "Faktor Kualitas Audit, dan Pengalaman Auditor dalam Menilai Kasus Kecurangan"



PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Perkembangan dunia usaha yang kompleks membuat kemajuan dibidang ekonomi diiringi dengan munculnya kecurangan oleh orang yang tak bertanggung jawab. Hal tersebut menuntut para auditor khususnya harus dapat memahami kecurangan tersebut. Kecurangan tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu oleh orang- orang baik di dalam maupun diluar organisasi dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan dan secara langsung maupun tidak langsung merugikan pihak lain.
Seorang auditor dalam menilai suatu kecurangan tergantung pada pengetahuan dan pengalaman. Pengalaman memiliki faktor penting dalam penilaian kecurangan, dalam hal ini adalah kualitas auditnya. Kualitas audit yang baik tidak menjamin dapat melindungi auditor dari kewajiban hukum yang merupakan konsekuensi dari kegagalan audit. Pengalaman dalam hal ini ialah auditor yang sudah lama mengusut kasus kecurangan dan tahu akan tindakan- tindakan yang akan dilakukan.
Kualitas audit menjadi isu penting bagi profesi akuntan. Agar dapat memenuhi kualitas audit yang baik, maka auditor dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa harus berpedoman pada kode etik akuntan, standar profesi, dan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Maraknya skandal keuangan yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri memberikan dampak besar terhadap kepercayaan publik terhadap profesi akuntan publik. Hasil pekerjaan auditor dipengarugi Akuntabilitas auditor dalam menyelesaikan pekerjaan audit. Akuntabilitas merupakan hal penting yang harus dimiliki auditor. Setiap auditor harus mempertahankan integritas dan obyekivitas dalam melaksanakan tugasnya dengan jujur, tegas, sehingga dapat bertindak independen tanpa tekanan atau permintaan pihak tertentu.
Berdasarkan hal diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Faktor Kualitas Audit, dan Pengalaman Auditor dalam Menilai Kasus Kecurangan

1.2.       Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
                         i.          Bagaimana menilai kasus kecurangan oleh auditor meliputi faktor kualitas audit, dan pengalaman auditor?
                       ii.          Bagaimana penyelesaian kasus kecurangan oleh auditor meliputi faktor kualitas audit, dan pengalaman auditor?

1.3.       Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
                         i.          Untuk mengetahui penilaian kasus kecurangan oleh auditor meliputi faktor kualitas audit, dan pengalaman auditor?
                       ii.          Untuk mengetahui penyelesaian kasus kecurangan oleh auditor meliputi faktor kualitas audit, dan pengalaman auditor?

1.4.       Manfaat Penelitian
·      Manfaat Akademis
a.    Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya
b.    Menambah pengetahuan mahasiswa tentang kualitas audit serta pengalaman auditor untuk menilai suatu kecurangan

·      Manfaat Praktis
a.    Pengambilan keputusan dari faktor apa saja yang harus dipertimbangkan untuk  memilih seorang auditor dalam menilai kasus kecurangan.

1.5.       Sistematika Penelitian
Agar dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai penelitian ini maka terlebih dahulu penulis mengeluarkan pokok pikiran yang merupakan isi dari penulisan dalam lima bab. Sistematika penulisan didalam garis besar kelima bab tersebut adalah sebagai berikut :
·         BAB I PENDAHULUAN
Menguraikan latar belakang masalah, rumusan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.
·         BAB II LANDASAN TEORI
Berisi landasan teori yang digunakan untuk membahas masalah yang diangkat dalam penelitian ini yang terdiri dari teori yang berkaitan dengan penelitian dan penelitian sebelumnya.
·         BAB III METODELOGI PENELITIAN
Menguraikan metode penelitian yang mencakup pembahasan tentang ruang lingkup dan batasan penelitian serta perumusan model analisis yang digunakan dalam penelitian ini.
·         BAB IV PEMBAHASAN
Menjelaskan dan menganalisis hasil penelitian.
·         BAB V PENUTUP
Merupakan penutup dari penulisan penelitian yang mengemukakan kesimpulan, yaitu hasil-hasil yang diperoleh dari hasil analisis dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Kemudian dengan dasar kesimpulan tersebut, akan dikemukakan saran-saran untuk penelitian lanjutan.
·         DAFTAR PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.       Kerangka Teoritis
Kualitas Audit
Definisi mengenai kualitas audit tidak ada yang pasti, hal ini disebabkan tidak adanya pemahaman umum mengenai faktor penyusunan kualitas audit dan sering terjadi konflik peran antar pengguna laporan audit. Kualitas audit biasanya ditinjau dari pihak auditor (Sutton, 1993). Kualitas pelaksanaan audit selalu mengacu pada standar yang ditetapkan, yang meliputi standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan (IAI, 2001: 001.02).
Kualitas audit adalah probabilitas seorang auditor dapat menemukan dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien (De Angelo, 1981). Probabilitas penemuan penyelewengan bergantung pada kemampuan teknis auditor (seperti pengalaman auditor, pendidikan, profesionalisme, dan struktur audit perusahaan). Probabilitas auditor untuk melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien bergantung pada independensi auditor.
Fearnley dan Page (1994: 7) dalam Hussey dan Lan (2001) mengatakan bahwa sebuah audit hanya dapat menjadi efektif jika auditor bersikap independen dan dipercaya untuk lebih cenderung melaporkan pelanggaran perjanjian antara prinsipal (pemegang saham dan kreditor) dan agen (manajer). Sedangkan menurut Christiawan (2002), seorang akuntan publik yang independen adalah akuntan publik yang tidak mudah dipengaruhi, tidak memihak siapapun, dan berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, tetapi juga pihak lain pemakai laporan keuangan yang mempercayai hasil pekerjaanya.
Pengalaman Audit
Knoers dan Haditono (1999) dalam Asih (2006: 12) mengatakan bahwa pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan penambahan perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non formal atau bisa juga diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Variabel pengalaman akan diukur dengan menggunakan indikator lamanya bekerja, frekuensi pekerjaan pemeriksaan yang telah dilakukan, dan banyaknya pelatihan yang telah diikutinya.
Kebanyakan orang memahami bahwa semakin banyak jumlah jam terbang seorang auditor, tentunya dapat memberikan kualitas audit yang lebih baik daripada seorang auditor yang baru memulai kariernya. Atau dengan kata lain auditor yang berpengalaman diasumsikan dapat memberikan kualitas audit yang lebih baik dibandingkan dengan auditor yang belum berpengalaman. Hal ini dikarenakan pengalaman akan membentuk keahlian seseorang baik secara teknis maupun secara psikis.
Secara teknis, semakin banyak tugas yang dia kerjakan, akan semakin mengasah keahliannya dalam mendeteksi suatu hal yang memerlukan treatment atau perlakuan khusus yang banyak dijumpai dalam pekerjaannya dan sangat bervariasi karakteristiknya (Aji, 2009: 5). Jadi dapat dikatakan bahwa seseorang jika melakukan pekerjaan yang sama secara terus menerus, maka akan menjadi lebih cepat dan lebih baik dalam menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan dia telah benar-benar memahami teknik atau cara menyelesaikannya, serta telah banyak mengalami berbagai hambatan-hambatan atau kesalahan-kesalahan dalam pekerjaannya tersebut, sehingga dapat lebih cermat dan berhati- hati menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Herliyansyah dan Ilyas (2006) yang mengatakan bahwa penggunaan pengalaman didasarkan pada asumsi bahwa tugas yang dilakukan secara berulang-ulang memberikan peluang untuk belajar melakukannya dengan yang terbaik.
Secara psikis, pengalaman akan membentuk pribadi seseorang, yaitu akan membuat seseorang lebih bijaksana baik dalam berpikir maupun bertindak, karena pengalaman seseorang akan merasakan posisinya saat dia dalam keadaan baik dan saat dia dalam keadaan buruk. Seseorang akan semakin berhati- hati dalam bertindak ketika ia merasakan fatalnya melakukan kesalahan. Dia akan merasa senang ketika berhasil menemukan pemecahan masalah dan akan melakukan hal serupa ketika terjadi permasalahan yang sama. Dia akan puas ketika memenangkan argumentasi dan akan merasa bangga ketika memperoleh imbalan hasil pekerjaannya (Bonner dan Lewis, 1990; Farhan, 2004 dalam Noviari dkk., 2005).
Pendektesian Fraud
Association of Certified Fraud Examination (ACFE) telah mengkategorikan fraud ke dalam tiga kelompok dan tindakan pendektesian fraud berdasarkan tiga kelompok kecurangan tersebut adalah :
1)   Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud).
Kecurangan dalam penyajian laporan keuangan umumnya dapat dideteksi melalui analiss laporan sebagai berikut :
a)    analisis Vertikal, yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara item-item dalam laporan laba rugi neraca, laporan arus kas dengan menggambarkan dalam presentase. Sebagai contoh di dalam suatu laporan tentang kenaikan hutang atau penurunan hutang.
b)   Analisis Rasio, Yaitu untuk mengukur hubungan antara nilai-nilai item dalam laporan keuangan. Contohnya current ratio, adanya tindak pidana penggelapan uang atau pencurian kas dapat menyebabkan turunya perhitungan rasio tersebut.
c)    Analisis Horizontal, Yaitu teknik untuk menganalisis presentase-presentase perubahan item-item laporan keuanagn selama beberapa periode laporan.
2)   Aset Misappropriation (Penyalahan asset)
Teknik untuk mendetaksi kecurangan-kecurangan ketegori ini sangat banyak variasinya. Pemehaman yang tepat atas pengendalian intern yang baik dalam pos-pos tersebut akan membantu dalam melaksanakan pendeteksian kecurangan.
Metode tersebut menunjukan ada tidaknya kecurangan, beberapa teknik untuk mendeteksi adanya penyalahgunaan asset antara lain :
a)    Analytical review.
b)   Statistical Sampling.
c)    Vendor atau outsider complaints.
d)   Site-visit Observation.
e)    Corruption (Korupsi)
Sebagai besar kecurangan ini dapat deteksi melalui keluhan dari rekan kerja yang jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak puas dan menyampaikan complain ke perusahaan. Atas sangkaan terjadinya kecurangan ini kemudian dilakukan analisis terhadap tersangka atau transaksinya. Pendektesian atas kecurangan ini dapat dilihat dari karakteristik (red flag) si penerimamaupun si pemberi.
METODE PENELITIAN
3.1         Populasi dan Sampel
Dilihat dari karakteristik masalahnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian terhadap masalah-masalah berupa fakta-fakta saat ini dari suatu populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh auditor dari tingkatan partner, manajer, senior, dan junior yang bekerja di KAP yang ada di Indonesia. Metode penetapan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling, yaitu pemilihan sampel secara acak sederhana yang memberikan kesempatan yang sama dan tak terbatas pada setiap anggota populasi untuk dipilih sebagai sampel

3.2         Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui kuesioner. Menurut Indriantoro dan Supomo (2002: 154), teknik ini memberikan tanggung jawab kepada responden untuk membaca dan menyatakan pendapatnya terhadap pertanyaan atau pernyataan yang diajukan. Kuisioner dikirimkan kepada para auditor di KAP dengan menggunakan e-mail (electronic mail) dan melalui jasa pos (post mail). Kuesioner tersebut berisi daftar pertanyaan yang jawabannya dinyatakan dengan menggunakan skala Likert.

3.3         Variabel Penelitian
Pengalaman
Pengalaman adalah keterampilan dan pengetahuan yang di peroleh seseorang setelah mengerjakan sesuatu hal. Variabel pengalaman akan diukur dengan menggunakan indikator lamanya bekerja, frekuensi pekerjaan pemeriksaan yang telah dilakukan, seperti yang digunakan oleh Aji (2009) serta ditambah dengan satu indikator yang juga dapat memproksikan pengalaman seorang auditor yaitu banyaknya pelatihan yang telah diikutinya, yang diambil dari aspek-aspek kompetensi yang dikembangkan Mansur (2007) yang telah direplikasi oleh Rahman (2009).

Kualitas Audit
Kualitas audit adalah sikap auditor dalam melaksanakan tugasnya yang tercermin dalam hasil pemeriksaannya yang dapat diandalkan sesuai dengan standar yang berlaku. Kualitas audit diukur dengan 4 aspek kualitas audit berdasarkan Financial Reporting Council (2006: 16) yaitu: budaya dalam KAP; keahlian dan kualitas personal rekan dan staff audit; efektivitas proses audit; serta keandalan dan manfaat laporan audit. Instrumen yang digunakan adalah instrumen yang telah dikembangkan oleh Mansur (2007).

DAFTAR PUSTAKA

Asih, D. A. T.. (2006). “Pengaruh Pengalaman terhadap Peningkatan Keahlian Auditor dalam Bidang Auditing”. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.
Pamudji, Sugeng. (2009). “PENGARUH KUALITAS AUDIT DAN AUDITOR BARUSERTA PENGALAMAN BAGIAN AKUNTANSI TERHADAP KEPUASAN DAN LOYALITAS KLIEN”. Jurnal Volume 13 No 2. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.
Rahman, A. T. (2009). “Persepsi Auditor Mengenai Pengaruh Kompetensi, Independensi, dan Due Professional Care terhadap Kualitas Audit”. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Tirta, Rio, Mahfud Sholihin. (2004). “The Effects of Experience and Task- Spesific Knowledge on Auditors Performance in Assessing a Fraud Case”. Jurnal Volume 8 No 1, Juni 2004. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.
Umar, H. (2005). Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sabtu

Perkembangan Terakhir dalam Etika Bisnis dan Profesi

Pengertian Etika
Menurut para ahli etika tidak lain adalah aturan perilaku, adat pergaulan manusia dalam pergaulan antar sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Kata Etika sendiri berasal dari kata ETHOS dari bangsa Yunani yang memiliki arti nilai – nilai, norma – norma, kaidah dan ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang didefinisikan oleh bebrapa ahli sebagai berikut :
1.        Drs. O.P Simorangkir
Etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berperilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
2.        Drs. Sidi. Gajalba dan Sistematika filsafat
Etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
3.        Drs. H. Burhanudin Salam
Cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.

Pengertian Profesi
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan memiliki keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan belum cukup dapat dikatakan sebagai profesi, tetapi, perlu memiliki penguasaan sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antar teori dan praktek pelaksanaan.

Kode Etik Profesi
Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sangsi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.
Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik – baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.

Perkembangan etika bisnis menurut Bertens (2000) :
1.        Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf – filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
2.        Masa Peralihan
Tahun 1960–an ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social responsibility.
3.        Etika Bisnis Lahir di Amerika Serikat
Tahun 1970–an sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah – masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat.
4.        Etika Bisnis Meluas ke Eropa
Tahun 1980–an di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira – kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).
5.        Etika Bisnis menjadi Fenomena Global
Tahun 1990–an tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25 – 28 Juli 1996 di Tokyo. Karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yangberkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built–in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah–gunaan kehlian.

Etika Profesional Profesi Akuntan Publik
Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam konggresnya tahun 1973, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan Indonesia, kemudian disempurnakan dalam konggres IAI tahun 1981, 1986,1994, dan terakhir tahun 1998. Etika professional yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam kongresnya tahun 1998 diberi nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.
Akuntan publik adalah akuntan yang berpraktik dalam kantor akuntan publik, yang menyediakan berbagai jenis jasa yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik, yaitu auditing, atestasi, akuntansi dan review, dan jasa konsultansi. Auditor independen adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan audit atas laporan keuangan historis yang menyediakan jasa audit atas dasar standar auditing yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dijabarkan ke dalam Etika Kompartemen Akuntan Publik untuk mengatur perilaku akuntan yang menjadi anggota IAI yang berpraktik dalam profesi akuntan publik.

Sumber :

Isu Etika Signifikan dalam Dunia Bisnis dan Profesi


1.        Benturan Kepentingan
Perbedaan kepentingan adalah situasi dimana seseorang kemungkinan tidak dapat menentukan point bahwa ia mungkin akan termotivasi untuk melakukan suatu tindakan dengan kepentingan berbeda dengan kepentingan yang seharusnya mereka lakukan. Terdapat beberapa tipe dari perbedaan kepentingan, seperti kenyataan, potensi, atau khayalan. Perbedaan kepentingan yang sesungguhnya ketika mengambil suatu motivasi untuk melakukan aktivitas yang tidak benar. Konflik perbedaan kepentingan potensial adalah situasi yang ada ketika terdapat kesempatan untuk suatu keuntungan menjadi bujukan untuk melakukan tindakan mendapatkan keuntungan lain. Perbedaan kepentingan imaginary/khayalan adalah figment imajinasi seseorang.
Benturan kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama perusahaan. Perusahaan menerapkan kebijakan bahwa personilnya harus menghindari investasi, asosiasi atau hubungan lain yang akan mengganggu, atau terlihat dapat mengganggu, dengan penilaian baik mereka berkenaan dengan kepentingan terbaik perusahaan. Sebuah situasi konflik dapat timbul manakala personil mengambil tindakan atau memiliki kepentingan yang dapat menimbulkan kesulitan bagi mereka untuk melaksanakan pekerjaannya secara obyektif dan efektif.
Benturan kepentingan juga muncul manakala seorang karyawan, petugas atau direktur, atau seorang anggota dari keluarganya, menerima tunjangan pribadi yang tidak layak sebagai akibat dari kedudukannya dalam perusahaan. Apabila situasi semacam itu muncul, atau apabila individu tidak yakin apakah suatu situasi merupakan benturan kepentingan, ia harus segera melaporkan hal – hal yang terkait dengan situasi tersebut kepada petugas kepatuhan perusahaan. Apabila manajemen senior perusahaan menetapkan bahwa situasi tersebut menimbulkan benturan kepentingan, mereka harus segera melaporkan benturan kepentingan tersebut kepada komite pemeriksa.
Berikut ini merupakan berberapa contoh upaya perusahaan/organisasi dalam menghindari benturan kepentingan :
a.         Menghindarkan diri dari tindakan dan situasi yang dapat menimbulkan benturan kepentingan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan perusahaan.
b.         Mengusahakan lahan pribadi untuk digunakan sebagai kebun perusahaan yang dapat menimbulkan potensi penyimpangan kegiatan pemupukan.
c.         Menyewakan properti pribadi kepada perusahaan yang dapat menimbulkan potensi penyimpangan kegiatan pemeliharaan.
d.        Mengungkapkan dan melaporkan setiap kepentingan dan atau kegiatan – kegiatan di luar pekerjaan dari perusahaan, yaitu :
1)        Kepada atasan langsung bagi karyawan,
2)        Kepada Pemegang Saham bagi Komisaris, dan
3)        Kepada Komisaris dan Pemegang Saham bagi Direksi.
e.         Memiliki bisnis pribadi yang sama dengan perusahaan.
f.          Menghormati hak setiap insan perusahaan untuk memiliki kegiatan di luar jam kerja, yang sah, di luar pekerjaan dari perusahaan, dan yang bebas dari benturan dengan kepentingan.
g.         Tidak akan memegang jabatan pada lembaga – lembaga atau institusi lain di luar perusahaan dalam bentuk apapun, kecuali telah mendapat persetujuan tertulis dari yang berwenang.
h.         Menghindarkan diri dari memiliki suatu kepentingan baik keuangan maupun non–keuangan pada organisasi/perusahaan yang merupakan pesaing, antara lain :
1)        Menghindari situasi atau perilaku yang dapat menimbulkan kesan atau spekulasi atau kecurigaan akan adanya benturan kepentingan.
2)        Mengungkapkan atau melaporkan setiap kemungkinan (potensi) benturan kepentingan pada suatu kontrak atau sebelum kontrak tersebut disetujui.
3)        Tidak akan melakukan investasi atau ikatan bisnis pada individu dan pihak lain yang mempunyai keterkaitan bisnis dengan baik secara langsung maupun tidak langsung.

2.        Etika dalam Tempat Kerja
Dalam pandangan rasional tentang perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah untuk bekerja mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan – kegiatan yang mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti menyimpang dari tujuan – tujuan tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri dalam cara – cara yang jika melanggar hukum dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk “kejahatan kerah putih”.
Adapun beberapa praktik di dalam suatu pekerjaan yang dilandasi dengan etika dengan berinteraksi di dalam suatu perusahaan, misalnya :
a.         Etika Terhadap Saingan
Kadang – kadang ada produsen berbuat kurang etis terhadap saingan dengan menyebarkan rumor, bahwa produk saingan kurang bermutu atau juga terjadi produk saingan dirusak dan dijual kembali ke pasar, sehingga menimbulkan citra negatif dari pihak konsumen.
b.         Etika Hubungan dengan Karyawan
Di dalam perusahaan ada aturan – aturan dan batas – batas etika yang mengatur hubungan atasan dan bawahan. Atasan harus ramah dan menghormati hak – hak bawahan. Karyawan diberi kesempatan naik pangkat, dan memperoleh penghargaan.
c.         Etika dalam hubungan dengan publik
Hubungan dengan publik harus dujaga sebaik mungkin, agar selalu terpelihara hubungan harmonis. Hubungan dengan public ini menyangkut pemeliharaan ekologi, lingkungan hidup. Hal ini meliputi konservasi alam, daur ulang dan polusi. Menjaga kelestarian alam, recycling (daur ulang) produk adalah uasha – usaha yang dapat dilakukan perusahaan dalam rangka mencegah polusi, dan menghemat sumber daya alam.

Kebebasan dan martabat dari seseorang, data pribadi dan property
a.         Perbedaan dari hak seseorang, hak tenaga kerja dan hak masyarakat/publik.
b.         Prosedur yang pantas : pemberitahuan dan kandungan prosedur.
c.         Pengujian terhadap penyalahgunaan substansi.
d.        Gangguan, sexual dan sebaliknya.
e.         Perlakuan yang adil.
f.          Diskriminasi : umur, gender, gaji
g.         Kebijakan yang adil

Kesehatan dan lingkungan kerja yang aman
a.         Harapan : beralasan, hak untuk tahu, stress, kehidupan keluarga, productivity.
b.         Perhatian terhadap kualitas hidup : asap, kesehatan.
c.         Lingkungan kerja yang ramah.

Kemampuan untuk berlatih
a.         Blind loyalty
b.         Whistle blowing

3.      Aktivitas Bisnis Internasional – Masalah Budaya
Ketika suatu perusahaan beroperasi diluar pasar domestiknya, ada panduan yang harus ditawarkan kepada para pegawainya, yang harus mencerminkan seberapa sering operasi akan berpengaruh pada ekonomi lokal dan kebudayaan lokal, apakah praktik asing yang berbeda, misalnya penyebarluasan, pemberian hadiah atau suap, dan reaksi terhadap perubahan stakeholders domestik dan khususnya stakeholders utama, termasuk major customer (pelanggan utama) dan pasar modal. Perusahaan multinasional akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kebudayaan lokal, sehingga mereka harus berhati – hati agar tidak memberikan pengaruh buruk terhadap pasar tenaga kerja (tarif upah, ketersediaan tenaga kerja), bagan mentah dan input lainnya, politik dan proses legal, dan religius/kepercayaan dan adat istiadat. Bila mereka mengabaikan kepercayaan dan adat istiadat setempat, maka perusahaan dan para pekerjanya akan dituduh/disalahkan terhadap cultural imperialism dan akan mengalami kesulitan dalam menentukan aktivitasnya di masa depan.
Seorang pemimpin memiliki peranan penting dalam membentuk budaya perusahaan. Hal itu bukanlah sesuatu yang kabur dan hambar, melainkan sebuah gambaran jelas dan konkrit. Jadi, budaya itu adalah tingkah laku, yaitu cara individu bertingkah laku dalam mereka melakukan sesuatu.
Tidaklah mengherankan, bila sama – sama kita telaah kebanyakan perusahaan sekarang ini. Para pemimpin yang bergelimang dengan fasilitas dan berbagai kondisi kemudahan. Giliran situasinya dibalik dengan perjuangan dan persaingan, mereka mengeluh dan malah sering mengumpat bahwa itu semua karena SDM kita yang tidak kompeten dan tidak mampu. Mereka sendirilah yang membentuk budaya itu (masalah budaya). Semua karena percontohan, penularan dan panutan dari masing – masing pemimpin. Maka timbul paradigma, mengubah budaya perusahaan itu sendiri.
Budaya perusahaan memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku etis, karena budaya perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma yang membimbing tindakan karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya prilaku. Dan sebaliknya dapat pula mendorong terciptanya prilaku yang tidak etis.

4.        Akuntabilitas Sosial
Akuntabilitas sosial sering kali diartikan menjadi sebuah pendekatan yang menempatkan kontrak sosial sebagai sebuah instrumen dasar dalam mengembangkan prinsip akuntabilitas dari praktek pemerintahan. Pada titik ini, partisipasi setiap warga negara dan segenap elemen civil society sangatlah signifikan. Sebab, inti dari kontrak sosial adalah adanya partisipasi warga negara dan elemen civil society untuk memastikan implementasi prinsip akuntabilitas dalam setiap kebijakan publik.
Berkaitan dengan kontrak sosial, sebuah proses akuntabilitas sosial idealnya bisa memberi ruang bagi masyarakat untuk :
c.         Bersuara
Artinya, masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan pendapat sebagai perwujudan dari hak sipil dan politik yang dimilikinya. Melalui kesempatan bersuara, masyarakat diharapkan bisa berpartisipasi aktif dan menghilangkan berbagai sumbatan dalam proses komunikasi politik di setiap proses kebijakan publik.
d.        Memilih
Artinya, masyarakat diberi kesempatan untuk memilih saluran kepentingan yang sesuai dengan preferensinya masing – masing. Pada titik ini, masyarakat didorong untuk dapat memaksimalkan kepentingannya melalui saluran yang mereka pilih dalam setiap proses kebijakan publik.
e.         Menentukan jalan ke luar
Artinya, masyarakat memilki cukup ruang untuk menentukan jalan ke luar bagi setiap persoalan yang muncul dalam proses kebijakan publik. Guna mewujudkan maksimalisasi kinerja akuntabilitas sosial, secara umum, terdapat sejumlah faktor yang sering dijadikan sebagai prasyarat pokok bagi pelaksanaan akuntabilitas sosial. Faktor – faktor tersebut, antara lain :
1)        Keberadaan Mekanisme yang Menjembatani Hubungan antara Negara dan Masyarakat
Usaha untuk mewujudkan sebuah akuntabilitas sosial dalam praktek pemerintahan, banyak bertumpu pada ada tidaknya sejumlah mekanisme yang mampu menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat. Mekanisme ini mempunyai makna strategis, sebab, pertukaran informasi, dialog dan negosiasi dapat dilakukan oleh berbagai elemen baik dari negara maupun dari masyarakat melalui sejumlah mekanisme tersebut. Keberadaan mekanisme yang menjembatani hubungan negara dan masyarakat, di tingkatan operasional, dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memperkenalkan cara – cara baru, kesempatan – kesempatan baru serta program – program baru bagi interaksi negara dan masyarakat yang sederhana dan efektif. Selain itu, keberadaan mekanisme ini juga bisa digunakan untuk memperbaiki, memperbarui serta mereformasi berbagai mekanisme, sistem dan aktor yang telah ada dan dianggap usang.
Contoh kongkret dari mekanisme yang menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat adalah keberadaan Dinas Komunikasi dan Informasi dari setiap Pemerintah Kabupaten dan Kota. Dinas ini dibentuk tidak untuk pengendalian informasi, namun sebaliknya, justru untuk meniadakan informasi yang asimetris antara negara dan masyarakat.
2)        Keinginan dan Kapasitas dari Warga Negara dan Aktor – aktor Civil Society yang Kuat untuk Secara Aktif Terlibat dalam Proses Akuntabilitas Pemerintah
Adanya keinginan dan kapasitas yang kuat dari warga negara dan aktor – aktor Civil Society untuk terlibat dalam proses akuntabilitas pemerintah merupakan prasyarat penting bagi terwujudnya akuntabilitas sosial. Dalam aras praksis, faktor ini acap kali berbenturan dengan sejumlah persoalan seperti, fakta lemahnya elemen Civil Society dan adanya pemikiran bahwa warga negara kurang berdaya.
3)        Keinginan dan Kapasitas dari Politisi dan Birokrat untuk Mempertimbangkan Masyarakat
Keberadaan faktor ini menjadi demikian penting, sebab, hambatan terbesar bagi perwujudan akuntabilitas sosial sering kali berasal dari keengganan para politisi dan birokrat untuk membuka semua informasi serta mendengarkan setiap pendapat masyarakat. Banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa kepekaan politisi dan birokrat terhadap aspirasi masyarakat dapat merubah pola interaksi antara negara dan masyarakat. Pada titik ini, pola interaksi kedua elemen tersebut dapat semakin disinergikan, sehingga terbentuk sebuah pola interaksi yang bersifat timbal balik antara aktor – aktor baik yang berasal dari negara maupun masyarakat.
4)        Lingkungan yang Memungkinkan
Maksudnya adalah proses perwujudan akuntabilitas sosial juga menuntut adanya lingkungan politik, ekonomi dan budaya yang memadai. Pada ranah politik, sebuah proses akuntabilitas sosial tidak mungkin berhasil, manakala tidak didukung oleh keberadaan rejim yang demokratis, adanya sistem multi partai serta pengakuan legal–formal dari hak – hak sipil dan politik dari warga negara. Demikian juga di ranah ekonomi dan budaya, sebuah upaya perwujudan akuntabilitas sosial akan menjadi sia – sia ketika lingkungan sosial dan ekonomi tidak menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk memperoleh akses partisipasi yang sama di kedua ranah tersebut.

5.        Manajemen Krisis
Krisis merupakan suatu kejadian besar dan tidak terduga yang memiliki potensi untuk berdampak negatif maupun positif. Kejadian ini bisa saja menghancurkan organisasi dan karyawan, produk, jasa, kondisi keuangan, dan reputasi. Krisis merupakan keadaan yang tidak stabil dimana perubahan yang cukup menentukan mengancam, baik perubahan yang tidak diharapkan ataupun perubahan yang diharapkan akan memberikan hasil yang lebih baik. Organisasi yang memikirkan dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari suatu krisis akan berusaha untuk mempersiapkan diri sebelum krisis tersebut terjadi. Bahkan ada peluang dimana organisasi dapat mengubah krisis menjadi suatu kesempatan untuk memperoleh dukungan publik.
Sebab krisis – krisis terjadi apabila ada benturan kepentingan antara organisasi dengan publiknya. Secara umum dapat dijelaskan bahwa penyebab krisis adalah :
Sebab umum :
a.         gangguan kesejahtraan dan rasa aman
b.         tanggung jawab sosial diabaikan
Sebab khusus :
a.         kesalahan pengelola yang mengganggu lapisan bawah
b.         penurunan profit yang tajam
c.         penyelewengan
d.        perubahan permintaan pasar
e.         kegagalan/penarikan produk
f.          regulasi dan deregulasi
g.         kecelakaan atau bencana alam.

Krisis dapat diartikan sebagai suatu waktu yang tidak stabil atau pernyataan tentang suatu pekerjaan dimana suatu perubahan yang sangat menentukan menjadi tertunda. Krisis manajemen sebaiknya meliputi seni memindahkan resiko dan ketidakpastian dalam rangka untuk mencapai pengendalian yang lebih (melebihi tujuan dasar). Dasar fundamental manajemen krisis adalah memahami 4 fase krisis, yaitu :
a.         Warning; peringatan pre krisis dan deteksi
b.         Acute; beberapa kerugian atau kerusakan telah terjadi, berapa banyak tambahan kerusakan yang mungkin terjadi tergantung kepada kita, mencoba untuk kendalikan krisis, dan jika tidak bisa, cobalah untuk mempengaruhi dimana, kapan dan bagaimana krisis tersebut akan terjadi
c.         Chronic; terdiri dari clean up dan recovery, post mortem/self analysis, rencana krisis manajemen selanjutnya, dan dapat tetap hidup/bertahan
d.        Resolution; penyelesaian ketika keadaan telah membaik dan telah utuh kembali
Suatu krisis menurut pendapat Steven Fink (1986) dapat dikategorikan kedalam empat level perkembangan, yakni :
·      Masa pre-krisis
Suatu krisis yang besar biasanya telah didahului oleh suatu pertanda bahwa bakal ada krisis yang terjadi. Masa terjadinya atau munculnya pertanda ini disebut masa pre-krisis.Seringkali tanda-tanda ini oleh karyawan yang bertugas sudah disampaikan kepada pejabat yang berwenang, tetapi oleh pejabat yang berwenang tidak ditanggapi. Oleh karena sipelapor merasa laporannya tidak ditanggapi dia ikut diam saja. Bila keadaan yang lebih buruk terjadi dia lebih baik memilih diam daripada laporan dia tidak ditanggapi. Kasus terjadinya kebocoran gas racun pabrik Union Carbide di Bhopal, India (terkenal dengan nama tragedy Bhopal) yang merenggut lebih dari 2000 jiwa, telah diantisipasi oleh petugas. Kebocoran yang terjadi di pabrik Union Carbide di tempat lain tidak diteruskan ke pabrik di Bhopal. Laporan yang tidak disampaikan itu menyebabkan terjadinya malapetaka tersebut.Cukup sering terjadi, malapetaka yang besar sudah deketahui gejalanya oleh orang yang berwenang, tetapi didiamkan saja tanpa diambil tindakan. Kalau sekiranya tindakan koreksi segera diambil maka kejadian yang akibatnya fatal tersebut dapat dihindarkan. Mengatasi krisis yang paling baik adalah disaat pre-krisis ini terjadi. Seringkali suatu krisis sudah diantisipasi bakal terjadi, namun tidak ada cara untuk menghindarinya. Misalnya kasus kapal di laut yang akan dilanda oleh topan, dan tidak ada jalan keluar kecuali menghadapi topan tersebut. Namun oleh karena sudah diantisipasi terjadinya, sang nakhoda akan lebih siap menghadapi krisis tersebut. Misalnya mengarahkan kapalnya ke batu karang. Dari contoh ini kita dapat menarik pelajaran bahwa menghadapi krisis yang tidak terelakkan bila kita sudah tahu, kita akan lebih siap.
·      Masa Krisis Akut (Acute stage).
Bila pre-krisis tidak dideteksi dan tidak diambil tindakan yang sesuai maka masa yang paling ditakuti akan terjadi. Kasus biskuit beracun setelah korban berjatuhan, misalnya cepat sekali mendapat sorotan media massa sebagai suatu berita yang hangat dan masuk halaman pertama. Keadaan yang demikian akan menimbulkan suasana yang paling kritis bagi perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang produknya tercemar racun. Informasi tersebut berkembang dengan cepat dikalangan masyarakat dari mulut ke mulut. Setelah itu berkembang masalah baru berupa ‘rumor’ bahwa banyak makanan lain yang ikut tercemar.
Beberapa bahan makanan yang dilaporkan tercemar racun adalah minyak goreng, bakso, bakmi, rokok, dan beberapa jenis jajanan pasar. Memang isu keracunan ini akan merembet ke makanan yang sejenis Hal ini disebut dengan proses generalisasi. Fenomena generalisasi ini juga terjadi pada pabrik yang mempunyai cabang di tempat lain, atau pabrik yang memproduksi barang yang hampir sama.
Pada masa krisis akut ini tugas utama perusahaan adalah menarik produk secepat mungkin agar tidak ada lagi korban yang menjadi korban produk. Pada masa ini tugas perusahaan bukanlah diprioritaskan untuk mencari penyebab kenapa masalah itu terjadi. Tetapi tugas pokoknya adalah mengontrol semaksimal mungkin agar jatuhnya korban dapat ditekan.Masa krisis akut ini jika dibandingkan dengan masa krisis kronis jauh lebih singkat. Tetapi masa akut adalah masa yang paling menegangkan dan paling melelahkan anggota tim yang menangani krisis.
·      Masa kronis krisis
Masa ini adalah masa pembersihan akibat dari krisis akut. Masa ini adalah masa recovery, masa mengintrospeksi kenapa krisis sampai terjadi. Masa ini bagi mereka yang gagal total menangani krisis adalah masa kegoncangan manajemen atau masa kebangkrutan perusahaan. Bagi mereka yang bisa menangani krisis dengan baik ini adalah masa yang menenangkan.Masa kronis berlangsung panjang, tergantung pada jenis krisis. Masa kronis adalah masa pengembalian kepercayaan publik terhadap perusahaan.
·      Masa kesembuhan dari krisis.
Masa ini adalah masa perusahaan sehat kembali seperti keadaan sediakala. Pada fase ini perusahaan akan semakin sadar bahwa krisis dapat terjadi sewaktu-waktu dan lebih mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

Sumber :






Komentar

My Visitors

free counters