Kebutuhan dan apresiasi terhadap pelaku profesi bersertifikasi standar global, seperti CFA, ChFC, FRM, CPIM, CPM, CISA, dan sebagainya, makin tinggi. Sertifikasi profesi terbukti menunjang karier dan peningkatan penghasilan para penyandangnya. Tri Djoko Santoso kini menyimpan dua kartu nama dalam sakunya. Kartu nama pertama menunjukkan identitas dirinya sebagai wakil presdir PT Panin Life Tbk., tanpa ada tambahan embel-embel lagi. Adapun kartu kedua mencantumkan gelar (professional designation) Chartered Financial Consultant (ChFC) di belakang namanya. "Itu saya perlukan kalau sedang dinas ke luar negeri atau bertemu dengan kolega saya yang kebetulan orang asing di Indonesia," ujarnya.
Tri berharap kartu nama kedua bisa lebih mempertebal keyakinan mitra asingnya bahwa dia dengan orang yang kompeten di bidang asuransi dan layak dihargai karena menyandang gelar sertifikasi berstandar global, yaitu ChFC. "Kadang kartu nama itu juga saya tunjukkan ke klien atau nasabah," ungkap Tri. Meski tanpa sertifikasi ChFC, perkembangan karier dan gaji Tri cukup baik, karena zaman makin terbuka, pengakuan yang bersifat internasional seperti gelar ChFC amat diperlukannya.
Tri berharap kartu nama kedua bisa lebih mempertebal keyakinan mitra asingnya bahwa dia dengan orang yang kompeten di bidang asuransi dan layak dihargai karena menyandang gelar sertifikasi berstandar global, yaitu ChFC. "Kadang kartu nama itu juga saya tunjukkan ke klien atau nasabah," ungkap Tri. Meski tanpa sertifikasi ChFC, perkembangan karier dan gaji Tri cukup baik, karena zaman makin terbuka, pengakuan yang bersifat internasional seperti gelar ChFC amat diperlukannya.
Sertifikasi ChFC milik Tri diperolehnya dari The American College. Selain pengakuan internasional, apa lagi manfaatnya? "Banyak sekali," paparnya. Oleh karena program sertifikasi lebih bersifat aplikatif, banyak sekali pengetahuan baru yang tak ia peroleh di bangku kuliah. Selain itu, apresiasi industri jasa keuangan terhadap mereka yang bersertifikasi global juga makin tinggi. "Mereka makin dihargai karena keahliannya berkaliber internasional dan ini akan terus bergulir," tandasnya. Sertifikasi Profesi Jadi Tuntutan Menurut Hari Sudarmadji, managing partner Optima Consulting, perusahaan konsultan SDM, kini sertifikasi profesi memang menjadi tuntutan untuk melakukan pekerjaan di berbagai bidang usaha, seperti menjadi manajer investasi atau wakil perantara perdagangan efek. "Saya sangat setuju dengan adanya sertifikasi profesi, sebab ini penting untuk kejelasan," ujarnya.
Mari mencermati, sekarang makin banyak profesi baru yang belum disentuh banyak orang dan membutuhkan upaya sertifikasi, baik yang bersifat global maupun nasional. Misalnya, sertifikasi profesi di bidang manajemen risiko, corporate secretary, konsultasi manajemen, komite audit perusahaan publik, audit ISO, audit TI, dan audit lingkungan. "Mereka yang benar-benar kompeten di bidang itu sekarang banyak dicari," paparnya. Di bidang hukum juga berkembang sertifikasi profesi mediator profesional yang memberikan jasa mediasi untuk penyelesaian sengketa komersial di luar pengadilan. Ke depan, lanjut Hari, tak semua orang boleh menamakan dirinya berprofesi di bidang itu karena tuntutan pertanggungjawaban profesi cenderung makin tinggi, seperti halnya profesi akuntan, advokat, notaris, dokter, dan apoteker, yang sampai dilindungi UU. Misalnya, dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, seharusnya ada opini dari auditor lingkungan independen dan bersertifikasi standar global yang layak disajikan dan memiliki akuntabilitas publik. "Ini belum ada. Namun, lima tahun mendatang pasti profesi ini banyak dicari, sehingga prospeknya bagus," kata Hari. Di bidang audit TI, Surdiyanto Suryodarmodjo, presiden ISACA (Information Systems Audit and Control Association) Indonesia Chapter, membenarkan bahwa auditor TI yang memiliki gelar CISA (Certified Information Systems Auditor) yang dikeluarkan ISACA, AS, makin dibutuhkan. "Padahal di sini pemilik gelar CISA baru 30-50 orang," paparnya. Ia menambahkan, sertifikasi CISM (Certified Information Security Manager) yang dikeluarkan ISACA untuk para manajer TI, juga sedang berkembang di Indonesia. Saat ini belum ada 10 orang Indonesia yang menyandang gelar CISM. "Sebab baru berjalan tahun lalu dan ujiannya Juli 2004 lalu," ungkap Surdiyanto.
Mari mencermati, sekarang makin banyak profesi baru yang belum disentuh banyak orang dan membutuhkan upaya sertifikasi, baik yang bersifat global maupun nasional. Misalnya, sertifikasi profesi di bidang manajemen risiko, corporate secretary, konsultasi manajemen, komite audit perusahaan publik, audit ISO, audit TI, dan audit lingkungan. "Mereka yang benar-benar kompeten di bidang itu sekarang banyak dicari," paparnya. Di bidang hukum juga berkembang sertifikasi profesi mediator profesional yang memberikan jasa mediasi untuk penyelesaian sengketa komersial di luar pengadilan. Ke depan, lanjut Hari, tak semua orang boleh menamakan dirinya berprofesi di bidang itu karena tuntutan pertanggungjawaban profesi cenderung makin tinggi, seperti halnya profesi akuntan, advokat, notaris, dokter, dan apoteker, yang sampai dilindungi UU. Misalnya, dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, seharusnya ada opini dari auditor lingkungan independen dan bersertifikasi standar global yang layak disajikan dan memiliki akuntabilitas publik. "Ini belum ada. Namun, lima tahun mendatang pasti profesi ini banyak dicari, sehingga prospeknya bagus," kata Hari. Di bidang audit TI, Surdiyanto Suryodarmodjo, presiden ISACA (Information Systems Audit and Control Association) Indonesia Chapter, membenarkan bahwa auditor TI yang memiliki gelar CISA (Certified Information Systems Auditor) yang dikeluarkan ISACA, AS, makin dibutuhkan. "Padahal di sini pemilik gelar CISA baru 30-50 orang," paparnya. Ia menambahkan, sertifikasi CISM (Certified Information Security Manager) yang dikeluarkan ISACA untuk para manajer TI, juga sedang berkembang di Indonesia. Saat ini belum ada 10 orang Indonesia yang menyandang gelar CISM. "Sebab baru berjalan tahun lalu dan ujiannya Juli 2004 lalu," ungkap Surdiyanto.
Menurut Surdiyanto yang juga dirut PT Kliring Berjangka Indonesia itu, audit TI yang dilakukan pemilik gelar CISA jelas dapat dipertanggungjawabkan karena ia memang dibekali pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang berstandar internasional. Tak semua orang kompeten, berwenang, dan berhak melakukan audit TI untuk meneliti adanya control dan efektivitas berjalannya sebuah sistem informasi. "Kalau auditor CISA mengatakan hasil auditnya bagus, pasti memang bagus, sebab dia independen dan tak ada conflict of interest," tandasnya. Lebih lanjut Surdiyanto memaparkan, sarjana akuntansi dan manajemen bisa saja menjadi auditor keuangan, manajemen, dan operasional, tetapi tidak semua bisa mengaudit sistem informasi, perangkat lunak, dan system aplikasi. Padahal, ujarnya, banyak perusahaan besar makin bergantung pada TI. "BCA saja sudah mengarahkan transaksi senilai Rp25 juta ke ATM. Dan ATM-nya sudah bisa untuk membayar banyak hal tanpa harus antre lama. Ini berarti TI sudah menjadi jantung layanan bisnis BCA." Di sektor industri manufaktur, tenaga profesional bergelar CPIM (Certified in Production and Inventory Management) dan CIRM (Certified in Integrated Resource Management) yang dikeluarkan oleh APICS (American Production and Inventory Control Society) di AS juga makin dibutuhkan banyak perusahaan. Gelar CPIM menandakan penyandangnya memiliki kompetensi berstandar internasional di bidang perencanaan pengadaan, bahan baku, kapasitas produksi, pengukuran performa, hubungan dengan pemasok,perencanaan penjualan dan operasional, kontrol kualitas, dan kesinambungan operasional pabrik. Sementara itu, gelar CIRM menandakan penyandangnya juga menguasai cara mengelola interaksi antarbagian fungsional di sebuah perusahaan yang begitu kompleks, sehingga bisa bekerja lebih efektif dan produktivitas meningkat.
Sertifikasi CPIM dan CIRM, menurut Ahmad Syamil, sangat penting bagi kalangan profesional yang banyak bergelut di bidang manajemen operasional perusahaan atau pabrik. Ahmad adalah salah satu penyandang gelar CPIM dan CIRM. Gelar ini, lanjut staf pengajar di Arkansas State University, AS, itu, "Juga membantu peluang kerja di berbagai negara." Di bidang pemasaran, sertifikasi profesi seperti Chartered Marketer (CM) yang dikeluarkan oleh The Chartered Institute of Marketing (CIM) juga sedang berkembang. Ario S. Setiadi, marketing & business development vice-president Medika Plaza International Clinic, mengaku sedang belajar program CM. "Cuma pakar marketing Hermawan Kartajaya yang sejauh ini bisa memperoleh gelar Fellow dari CIM," ujarnya. Padahal Ario sudah memiliki gelar CPM (Certified Professional Marketer) Asia Pacific yang dirilis APMF (Asia Pacific Marketing Federation), yang di Indonesia baru ada 12 orang yang memilikinya, termasuk Ario. Sementara itu, di bidang keuangan, Ferry Wong, manajer riset BNP Paribas, mengamati minat orang untuk memperoleh gelar FRM (Financial Risk Manager) sekarang makin tinggi, terutama mereka yang bekerja di sektor perbankan. "Sebab, regulasi perbankan mengharuskan semua bank mengikuti Basel Rule II Accord," ujar Ferry, yang memperoleh gelar FRM dari Global Association for Risk Management Professional pada tahun 2002.
Basel Rule II Accord menjadi standar global yang harus diikuti semua bank dalam hal manajemen risiko dan bakal berlaku pada 2006. Oleh karena itu, banyak kalangan bankir tertarik mendapatkan sertifikasi FRM. Apalagi Bank Indonesia juga mengharuskan key person di bank memperoleh pelatihan manajemen risiko untuk memahami implementasi standar baru itu.
Menurut Ferry, pemilik gelar FRM di Indonesia baru delapan orang. "Sebagian besar juga penyandang gelar CFA (Chartered Financial Analyst)," tutur Ferry, yang juga bergelar CFA. Sertifikasi CFA, walau sudah ada di Indonesia sejak 15 tahun lalu, baru 70-80 orang yang memilikinya. "Meski yang ikut ujian CFA per tahun 700-800 orang, yang lulus sangat sedikit," ungkap Ferry. Th. Wiryawan, marketing communications & business development director Citibank Indonesia, menilai bahwa masalah sertifikasi profesi memang isu besar di industri jasa keuangan saat ini. "Seperti untuk menjadi private banker, sebenarnya juga tidak mudah," ujarnya. Di Citibank, mereka yang bisa bekerja sebagai private banker harus berada pada level senior manager dan lulus ujian selama tiga bulan. Standar kualitas profesional bankirnya juga minimal harus regional. "Jadi, masalah marked to market yang sempat menghebohkan itu sedikit banyak juga terkait dengan standar professional global, yang umumnya menganut pendekatan marked to market," jelasnya. Menunjang Karier dan Penghasilan Hari melihat kebutuhan paling besar profesional yang bersertifikasi profesi adalah di industri keuangan, asuransi, pasar modal, dan properti. "Ini lagi tren dan membuat tenaga-tenaga yang memiliki sertifikasi harganya naik," tegas Hari. Apalagi tenaga-tenaga bersertifikasi juga tak mudah dicari karena yang bersangkutan sudah mendapatkan posisi dan income yang bagus. Jadi, kalaupun ada, umumnya berharga mahal.
Berapa? Ungkap Hari, "Per bulan bisa Rp85 juta." Oleh karena mereka memiliki kemampuan khusus, perusahaan pun diuntungkan. Nilai perusahaan (corporate value) otomatis meningkat karena mampu mempekerjakan tenaga-tenaga bersertifikasi global dengan gaji yang tinggi. Hari menyarankan, tak ada ruginya eksekutif yang masih berusia 27-35 tahun untuk mengejar sertifikasi. "Tren dunia keprofesian akan makin spesifik dan ilmu yang dimiliki sangat spesial, bukan umum atau generik," jelas Hari. Menurut pemantauan Surdiyanto, umumnya auditor bergelar CISA memang memiliki penghasilan yang bagus dan posisi strategis di perusahaan. "Ia betul-betul dipakai untuk memberikan pendapatan besar bagi perusahaannya," tambahnya. Apabila ada proyek audit perusahaan, ia pasti akan dilibatkan sehingga penghasilannya juga besar. Posisinya di perusahaan pun lebih bagus dibanding auditor yang tak bergelar CISA. Makin banyak perusahaan besar menerapkan TI,
harga jasa tenaga auditor TI yang terhitung masih sedikit pun makin meningkat pula.
Namun, menurut Tri Djoko Santoso, belum tentu seseorang yang bersertifikasi standar global akan berhasil di karier dan gaji. Hanya, memang, dengan memiliki sertifikasi, daya tahan untuk tetap memiliki posisi dan penghasilan tinggi cenderung lebih kuat. "Jika tak punya sertifikasi, bisa saja ia diganti oleh orang yang bersertifikasi," tuturnya. Apalagi, ke depan, persaingan bisnis makin terbuka, termasuk dengan orang asing. Jadi, jika tak memiliki kredibilitas, lewat sertifikasi, pasti akan kalah bersaing. "Bank-bank besar, asuransi, dan pasar modal makin melihat pentingnya sertifikasi ini," tandasnya. Ferry Wong berpendapat, sertifikasi memang menunjang karier dan gaji, tetapi tidak menjamin juga kalau pemilik gelar CFA dan FRM pasti akan menjadi analis yang hebat. "Gelar hanya memberikan dasar atau tools untuk menjadi analis yang baik," paparnya. Selebihnya tergantung kemauan, usaha, dan keberuntungan. Namun, Ferry mengakui, rekan-rekannya yang menyandang gelar CFA dan FRM memang memiliki posisi tinggi. "Oleh karena jumlahnya sedikit, apresiasi pasar pun makin tinggi," jelasnya. Hal senada juga diungkapkan Ario. Katanya, penyandang gelar CPM Asia Pacific di Indonesia umumnya berpenghasilan baik. Apalagi gelar ini dihargai di negara-negara Asia Pasifik, sehingga penyandangnya, apabila bekerja di luar negeri, mendapat pengakuan bahwa standar profesionalnya setara. "Sementara di Indonesia masih banyak perusahaan tak mengerti makna titel CPM," paparnya. Ario mensinyalir, orang masih rancu antara gelar formal dan informal, serta adanya stigma bahwa apabila gelar informal tak disahkan Departemen Pendidikan Nasional, ia dianggap tidak legal. "Padahal di sini bukan soal legal atau tidak, tapi soal profesi yang kalau diterima pasar ya bisa berjalan," jelas Ario. Namun Ario yakin, pemilik sertifikat CPM atau CM bakal lebih berdaya saing dibanding yang tidak memilikinya.
Di bisnis properti, Thomas Sugiarto, executive service director Century 21 Thomas Mitra, menjelaskan bahwa sebagian broker properti memang belum memiliki sertifikasi broker atau analis properti. Namun ia mengamati, mereka yang memilikinya cenderung makin baik karier dan penghasilannya. Thomas, yang memperoleh gelar CPA (Certified Property Analyst) dari Pusat Studi Properti Indonesia, merasakan manfaat pendidikan yang ditempuhnya dalam menjalankan profesi sebagai broker properti. Ke depan, Thomas melihat sertifikasi profesi broker properti makin dibutuhkan karena persaingan makin sengit dan tuntutan konsumen makin tinggi. "Itu baru bisa kami layani kalau kaminya sendiri makin berkualitas," ujarnya. Thomas menambahkan, karier sulit berkembang kalau mau mengejar uang tanpa terus belajar. Sulit Diperoleh Namun umumnya sertifikasi profesi berstandar global, dan bahkan yang nasional sekalipun, tak mudah didapat. Bahkan, papar Hari, dalam ujian profesi, lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil. Sinyalemen Hari dibenarkan oleh Ario. Misalnya, persyaratan untuk ikut ujian CPM, seseorang minimal sudah bekerja di bidang pemasaran selama lima tahun, dan biasanya jarang yang sekali ujian bisa langsung lulus. Umumnya dua kali ujian baru lulus. "Saya sendiri waktu itu ada yang satu modulnya tidak lulus," ungkap Ario. Kesulitan makin tinggi kalau mereka tak punya pengalaman dalam bidang pemasaran. Pasalnya, ujiannya hanya 20%-30% yang bersifat teori, selebihnya bersifat praktis. Jadi, bagi yang belum berpengalaman, pasti akan kesulitan.
Seorang penyandang gelar sertifikasi berstandar global tidak boleh hanya piawai teori, tetapi juga harus mampu mengaplikasikan ilmunya. Misalnya di bidang hukum, ia harus terampil berperkara di pengadilan. Kalau ia manajer investasi, ia harus terampil mengelola dana triliunan rupiah. "Kepandaian mengelola risiko seperti itu tidak gampang," papar Hari. Walau kesejahteraan penyandang sertifikasi profesi berstandar global meningkat, gelar itu juga menuntut tanggung jawab yang juga besar. Menurut Hari, mereka tak bisa berlindung di bawah perusahaan atau organisasi profesi. "Sebab, pekerjaan mereka kerap kali menyangkut nilai yang besar," tuturnya. Mereka, lanjut Hari, secara pribadi harus bisa bertanggung jawab di depan hukum supaya tidak ada malapraktek. "Profesi yang sudah dilindungi hukum saja bisa malapraktek," cetus Hari. Oleh karena itu, lanjut Hari, sertifikasi berstandar global bukanlah lisensi seumur hidup, tetapi terus mendapat pengawasan ketat dari institusi pemberi sertifikasi. Penyandang gelarnya wajib mengikuti pendidikan dan ujian berkesinambungan (continual education) untuk terus meningkatkan kualitas profesionalitasnya. "Bisa saja orangnya malas mengikuti perkembangan terbaru, sehingga kualitas kerjanya turun dan opininya tidak layak lagi," urai Hari. Mereka juga diwajibkan mematuhi kode etik sertifikasi profesi. Kalau tidak, gelarnya bisa dicabut sewaktu-waktu. Surdiyanto membenarkan hal itu. Ia memaparkan, apabila pemegang gelar CISA dalam setahun tak melakukan praktek apa pun yang terkait dengan gelarnya, ia tidak akan mendapatkan poin kredit sehingga gelarnya bisa dicabut. Gelarnya baru bisa diperpanjang kalau tiap tahun ia memberikan laporan yang diakui. Ia juga harus mematuhi kode etik yang ada. "Setiap akhir tahun, gelar CISA harus diperpanjang dan di-review, tidak bisa seumur hidup memegang gelar CISA," paparnya.
Ferry Wong juga mengungkapkan bahwa gelar sertifikasi profesi seperti CFA memang bisa dicabut kalau melanggar kode etik. "Jadi, seperti surat izin mengemudi," tandasnya. Oleh karena itu, tambahnya, penyandang gelar CFA cenderung tak berani mengambil risiko melakukan penyimpangan atau penipuan. "Risiko dan tanggung jawabnya besar." Biaya pendidikan dan ujian sertifikasi standar global juga terhitung mahal. "Ini wajar karena kalau murah, isinya tentu tak bisa dipertanggungjawabkan," papar Hari. Sampai di sini, Hari cemas dengan makin menjamurnya institusi-institusi yang menawarkan fasilitas pendidikan dan ujian
keprofesian, baik berstandar global maupun lokal, seiring tumbuhnya permintaan. Hari mencermati, ada gejala banyak orang memburu sertifikasi sampai ke luar negeri sehingga kalau tidak diantisipasi, disediakan forumnya, Indonesia akan kebanjiran orang yang bersertifikasi profesi dari luar negeri yang tak diketahui seperti apa kualitasnya. "Tidak bisa sekadar menerima selembar ijazah tanpa jelas maksud kriterianya," tegasnya.
Untuk itu Hari menilai pentingnya peran berbagai organisasi profesi dan organisasi sertifikasi profesi, bersama dengan semua pihak yang terkait, seperti pemerintah dan badan-badan independen lainnya, memberikan arah terhadap perkembangan dunia keprofesian. Bentuknya bisa regulasi dan praktek di lapangan. "Kalau pengaturan sertifikasi standar internasional sudah ada di induknya, tapi kalau sertifikasinya berasal dari dalam negeri, saya piker memang perlu diatur," tukas Tri Djoko Santoso.
Ferry Wong juga khawatir jika sertifikasi profesi kemudian dianggap seperti mainan, mudah didapat dan kualitasnya tak dapat dipertanggungjawabkan. Ia melihat ada kecenderungan tumbuhnya institusi pendidikan yang sekadar mencari uang dengan memanfaatkan momentum dan bahkan membuat sertifikasi profesi yang tak jelas standarnya. Akan tetapi ia yakin, orang akan tahu dengan sendirinya, sertifikasi mana yang bagus dan layak dihargai.
Ferry mengemukakan, sertifikasi profesi yang bagus adalah yang standarnya terus dipertahankan dan cenderung makin sulit didapat. Misalnya, gelar CFA, yang tahun ini tingkat kelulusannya di seluruh dunia hanya 32% dari total peserta, dan bahkan di Indonesia hanya 10%-15%. "Pokoknya kalau mau mencari sertifikasi, cari yang susah karena itu yang akan dihargai. Kalau sertifikasinya mudah didapat, lebih baik tidak usah," tandasnya.
Beberapa Sertifikasi Profesi Standar Global:
1. Chartered Financial Analyst (CFA); 2. Certified Financial Planner (CFP); 3. Financial Risk Manager (FRM); 4. Chartered Financial Consultant (ChFC); 5. Project Management Professional (PMP); 6. Certified Information Systems Auditor (CISA); 7. Certified in Production and Inventory Management (CPIM); 8. Certified in Integrated Resource Management (CIRM)
9. Certified Professional Marketing (CPM); 10. Senior Certified Valuers (SCV); 11. Certified Public Accountant (CPA); 12. Certified Internal Auditor (CIA); 13. Certified Information Systems Security Professional (CISSP); 14. Certified Professional Environmental Auditor (CPEA)
Profesi Termahal Masa Depan Tanpa Sertifikasi Meski sertifikasi profesi menjadi syarat utama agar pelakunya berharga mahal, tetapi itu bukan harga mati. Di luar profesi yang makin membutuhkan sertifikasi profesi yang ketat, muncul beberapa profesi yang sebenarnya tak
membutuhkan sertifikasi khusus, tetapi juga langka sehingga harganya pun tergolong mahal. Penyebabnya mungkin karena profesi-profesi itu lebih mengandalkan bakat alam atau keahlian yang sulit didapat dari jalur pendidikan formal, sehingga tak semua orang bisa melakukannya. Misalnya, ahli pemeriksa ikan tuna segar. Setiap pagi tugasnya memeriksa tingkat kesegaran ikan hasil tangkapan agar layak ekspor. "Dia tugasnya hanya memegang dan membaui ikan tuna, seperti layaknya menguji biji kopi atau daun teh," ujar Irham Dilmy, managing partner perusahaan executive search Amrop Hever Indonesia.
membutuhkan sertifikasi khusus, tetapi juga langka sehingga harganya pun tergolong mahal. Penyebabnya mungkin karena profesi-profesi itu lebih mengandalkan bakat alam atau keahlian yang sulit didapat dari jalur pendidikan formal, sehingga tak semua orang bisa melakukannya. Misalnya, ahli pemeriksa ikan tuna segar. Setiap pagi tugasnya memeriksa tingkat kesegaran ikan hasil tangkapan agar layak ekspor. "Dia tugasnya hanya memegang dan membaui ikan tuna, seperti layaknya menguji biji kopi atau daun teh," ujar Irham Dilmy, managing partner perusahaan executive search Amrop Hever Indonesia.
Menurut Irham, pemeriksa ikan tuna yang notabene ekspatriat itu per bulan bisa mendapatkan gaji US$20.000. Dia layak digaji tinggi karena pabrik pengalengan ikan tak mau mengambil risiko produknya ditolak di negara tujuan ekspor lantaran tak memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ini bisa mencoreng reputasi, dan merugikan perusahaan. Sebab, per hari
perusahaan itu mengekspor 100 ton lebih ikan tuna.
Ekspor ikan tuna membutuhkan perlakuan khusus karena tak boleh dibekukan dan tidak boleh ditangkap dengan jaring agar pembuluh darahnya tidak pecah. Orang Jepang tak suka mengkonsumsi ikan tuna yang pembuluh darahnya sudah pecah karena rasanya menjadi tidak enak.
"Jumlah pemeriksa ikan tuna ini cuma segelintir, mungkin tidak sampai 10 orang," papar Irham. Yang menarik, lanjut Irham, mereka itu tak perlu sekolah tinggi-tinggi agar harganya mahal. "Derajat kesulitan pekerjaan mereka sebenarnya relatif sama dengan pembau tembakau, tapi bayarannya jauh lebih mahal," ungkap Irham.
Sertifikasi Profesi dan Profesi Termahal Masa Depan Kini kian banyak profesi baru bermunculan. Misalnya, profesi di bidang perencanaan keuangan, audit penerapan TI, audit manajemen mutu, manajemen lingkungan, manajemen risiko, manajemen proyek, pemasaran, manajemen pabrik, dan lain-lain. Profesi-profesi itu relatif belum banyak disentuh
orang, dan makin membutuhkan sertifikasi karena profesi-profesi baru itu umumnya spesifik dan membutuhkan keahlian khusus. Di sinilah sertifikasi profesi, terutama yang berstandar global, berhubungan erat dengan prediksi profesi-profesi termahal di masa depan.
Sertifikasi profesi berstandar global makin diperlukan untuk menegaskan bahwa pelakunya layak diakui, memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dengan kualitas internasional. Misalnya, bidang audit penerapan TI dibutuhkan pelaku yang bersertifikasi CISA. Mereka ini diprediksi bakal mahal harganya di masa depan.
Pelaku profesi bersertifikasi standar global diprediksi "mahal" karena beberapa sebab. Pertama, belum banyak orang yang menekuninya. Kedua, tak semua orang bisa menjadi pelaku profesi ini bisa memiliki sertifikasi berstandar global. Ketiga, permintaannya yang kian tinggi belum diimbangi dengan banyaknya pelakunya. Ini otomatis membuat "harga" mereka naik.
Keempat, mereka mahal karena sertifikasinya diakui secara global. Artinya, di mana pun ia bekerja, standar keahlian atau kompetensinya diakui, sehingga bisa bekerja di negara mana pun. Sertifikasi standar global menegaskan bahwa penyandangnya memang memiliki keahlian khusus, sehingga pantas mendapat bayaran tinggi.
Kelima, keberadaan mereka juga ikut menaikkan nilai perusahaan (corporate value). Perusahaan yang mampu mempekerjakan karyawan bersertifikasi standar global tentu dianggap memiliki nilai lebih. Itu sebabnya perusahaan pun tak segan-segan membayar mahal gaji mereka.
Source :wartaekonomi.com
0 komentar:
Posting Komentar